Profilsingkat perusahaan: Tahun 1931, didirikan di Indonesian sebagai importer sepatu. Tahun 1940, memulai produksi di pabrik Kalibata di Jakarta. Tahun 1982, tercatat di Bursa Efek Jakarta ( sekarang Bursa Efek Indonesia) pada tangga 24 Maret. Tahun 1994, menyelesaikan pembangunan pabrik Purwakarta.
ï»żObjective to identify the association of workload with musculoskeletal disorders complaints in worker in factory shoes Nganjuk Methods This article were analitycal observational with cross sectional design. The sample of this study used 34 workers from 60 worker of cutting operator in shoe factory Nganjuk. Data were obtained by distributing questionnaires and observation. Physical workload were assess using SNI 72692009 guidelines. Data analyzed using fisherâs exact test and coefficient contingency. Data presented using table of The result showed that majority had age under 25 years old with male gender. The analysis showed that physical workload have significant association with musculoskeletal disorders complaints among worker. The result were 75% workers with moderate risk of physical workload have mild complaints about musculoskeletal disorders. While 53,8% workers with light physical workload did not have musculoskeletal disorders complains. the association between physical workload and musculoskeletal disorders complain were medium with 0,452 of coefficient contingency Conclusion Physical workload have significant association with musculoskeletal disorders complaints among worker or in other word increasing of physical workload would be increase complain of musculoskeletal disorders. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 63Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 4 1 2019 Jurnal Keperawatan Muhammadiyah Alamat Website Beban Kerja Fisik Dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders Pada Pekerja Di Pabrik Sepatu di Nganjuk Primalia Sukma Putri11Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, SurabayaINFORMASI ABSTRACT Korespondensi primaliasukma Physical Workload;, Musculoskeletal Disorders; WorkerObjective to identify the association of workload with musculoskeletal disorders complaints in worker in factory shoes Nganjuk Methods îis article were analitycal observational with cross sectional design. îe sample of this study used 34 workers from 60 worker of cutting operator in shoe factory Nganjuk. Data were obtained by distributing questionnaires and observation. Physical workload were assess using SNI 72692009 guidelines. Data analyzed using îsherâs exact test and coeîcient contingency. Data presented using table of îe result showed that majority had age under 25 years old with male gender. îe analysis showed that physical workload have signiîcant association with musculoskeletal disorders complaints among worker. îe result were 75% workers with moderate risk of physical workload have mild complaints about musculoskeletal disorders. While 53,8% workers with light physical workload did not have musculoskeletal disorders complains. the association between physical workload and musculoskeletal disorders complain were medium with 0,452 of coeîcient contingency Conclusion Physical workload have signiîcant association with musculoskeletal disorders complaints among worker or in other word increasing of physical workload would be increase complain of musculoskeletal disorders. 64Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 4 1 2019 PENDAHULUANPekerja seringkali melakukan pekerjaan dengan sikap kerja yang tidak alamiah sehingga dapat menimbulkan gangguan pada tubuh pekerja. Gangguan akibat sikap kerja yang tidak alamiah ini dapat berupa nyeri otot leher, nyeri punggung, nyeri pinggang, nyeri pada lengan, dan pergelangan tangan maupun anggota badan yang lain. Nyeri atau gangguan tersebut disebut dengan musculoskeletal disorders. Menurut Oborne 1995 dalam Septrianto 2016, gangguan musculoskeletal dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor pekerjaan, lingkungan kerja, dan pekerja individu. Faktor pekerjaan meliputi postur tubuh tidak alamiah saat bekerja, beban yang di angkut, durasi serta frekuensi kerja. Faktor lingkungan kerja meliputi getaran, makroklimat, dan pencahayaan. Sedangkan faktor pekerja dapat meliputi usia, jenis kelamin, masa kerja, kebiasaan merokok, kesegaran jasmani, kekuatan îsik dan indeks masa tubuh.îe Bureau of Labor Statistic dari Departemen Tenaga Kerja AS menyebutkan Musculoskeletal Disorders MSDssebagai bahaya yang serius untuk kesehatan tempat kerja. Jumlah cedera akibat Musculoskeletal Disorders MSDs sekarang lebih dari sepertiga dari semua kasus hilangnya hari kerja OSHA, 2000. Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dalam proîl masalah kesehatan di Indonesia tahun 2005 menyebutkan bahwa sekitar 40,5% penyakit yang diderita oleh pekerja berhubungan dengan pekerjaannya. Penelitian dilakukan pada pekerja di 12 kabupaten/ kota di Indonesia umumnya berupa penyakit Musculoskeletal Disorder 16%, kardiovaskuler 8%, gangguan saraf 5%, gangguan pernafasan 3% dan gangguan THT 1,5% Chairana, et al, 2015Penelitian yang dilakukan oleh Evadarianto 2016 pada pekerja Rolling Mill di PT Ispat Indo Sidoarjo didapatkan bahwa 11 responden dari total sampel sebanyak 15 pekerja memiliki keluhan musculoskeletal. pekerja yang memiliki beban kerja yang sedang sebanyak 73,34% dari total sampel sebanyak 15 orang memiliki hubungan yang sangat kuat untuk mengalami keluhan musculoskeletal disorders. Berdasarkan hasil data awal didapatkan bahwa sebanyak 4 dari 7 orang pekerja pada bagian Cutting mengeluhkan merasakan kelelahan pada bagian kaki dan leher. Kelelahan tersebut disebabkan karena pekerjaan cutting dilakukan dalam sikap kerja berdiri yang dilakukan selama 8 jam per hari. Dari data tersebut sehingga diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang berhubungan dengan keluhan subyektif Musculoskeletal Disorders MSDs pada pekerja pabrik sepatu di ini menggunakan rancangan analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan observasi. Pengambilan sampel secara simple random sampling. Data dianalisis dengan menggunakan îsherâs exact test dan kekuatan hubungan dengan melihat besar nilai koeîsien kontingensi dengan besar α=0,05 CI 95%. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebesar 30 pekerja bagian pemotongan dari total populasi sebesar 60 pekerja. Pekerja yang diambil adalah pekerja pada shiî pagi. Pengambilan data menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Data disajikan dalam bentuk tabel HASILResponden dalam penelitian adalah pekerja pada bagian pemotongan di pabrik sepatu di Nganjuk pada shiî pagi. Rentang usia pekerja adalah 20-37 tahun. Mayoritas pekerja adalah 1. Distribusi Frekuensi variabel penelitianVariabel Kategori Jumlah Persentase %Jenis Kelamin Laki-laki 27 70,3Perempuan 10 29,7Umur 25 Tahun 11 29,7Beban Kerja Rendah 13 35,1Sedang 24 64,9Keluhan Subyektif MSDsTidak Ada Keluhan9 24,3Ringan 23 62,2Sedang 5 13,5Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 37 responden, mayoritas pekerja bagian cutting di pabrik sepatu di Nganjuk adalah berjenis kelamin laki-laki dimana sebanyak 27 orang responden 70,3 %.Umur responden terbanyak adalah pada rentang umur 200-350 Kilo kalori/jam3. Beban kerja berat > 350-500 Kilo kalori/jamJadi kategori beban kerja diatas adalah dari tabulasi silang didapatkan bahwa sebanyak 75% responden dengan beban kerja sedang memiliki keluhan subyektif MSDs tingkat ringan. Berikut adalah hasil tabulasi silang antara variabel beban kerja îsik dengan keluhan subyektif Musculoskeletal Disorders MSDs.Tabel 2. Tabulasi Silang antara variabel Beban Kerja dengan keluhan Subyektif MSDs Responden di Pabrik Sepatu di Nganjuk Jawa Timur, bagian Cutting Tahun 2018Beban KerjaKeluhan MSDs To t a lKeteran-ganTidak ada Ringan Sedangn % n % n % n %Ringan7 53,8 5 38,5 1 7,7 13 100p-val-ue0,009Sedang2 8,3 18 75 4 16,7 24 100Hasil dari uji statistik diatas didapatkan nilai p-value 0,009 lebih kecil dari α 0,05 sehingga didapatkan kesimpulan bahwa ada hubungan antara Beban Kerja dengan keluhan subyektif MSDs pada pekerja bagian cutting dengan nilai koeîsien kontingensi sebesar 0,452 sehingga ada hubungan yang cukup kuat antara beban kerja îsik dengan keluhan subyektif musculoskeletal disorders. Jadi dengan kata lain, semakin berat beban kerja maka akan semakin tinggi tingkat keparahan keluhan subyektif musculoskeletal penelitian pada pekerja bagian cutting Pabrik sepatu di Nganjuk, didapatkan sebesar 62,2% pekerja mengalami keluhan Subyektif MSDs yang ringan dan sebesar 13,5 % mengalami keluhan subyektif MSDs yang sedang. Mayoritas pekerja yang mengalami keluhan musculoskeletal merupakan pekerja bagian Operator dikarenakan pekerjaan operator dilakukan dalam posisi kerja berdiri dan terdapat pengulangan pekerjaan yaitu sebanyak 12 kali per menit sehingga berisiko untuk mengalami kelelahan otot yang dapat menimbulkan keluhan MSDs bagi wawancara lebih lanjut, keluhan dirasakan di beberapa bagian tubuh seperti kaki, lengan, pinggang dan leher. Dari beberapa bagian tubuh tersebut lokasi keluhan yang diraskan responden paling banyak adalah pada bagian kaki sebab seluruh responden berkerja dalam posisi berdiri. Sikap berdiri seringkali dilakukan dengan posisi kali tidak lurus sempurna, kadang ditekuk îeksi untuk menyeimbangkan 66Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 4 1 2019 saat menarik dan mendorong landasan kerja. Berdasarkan pendapat Darlis 2009 dalam Zakaria 2016, pekerjaan dengan sikap kerja berdiri dapat menyebabkan kaki menjadi tumpuan berat badan. Jika pekerjaan dilakukan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan kaki kram, linu dan nyeri, pembengkakan, varises, kelemahan otot umum, nyeri pinggang serta kekakuan leher dan 2010, menyatakan bahwa MSDs bukanlah suatu diagnosis klinis melainkan label untuk persepsi rasa sakit atau nyeri pada sistem musculoskeletal, begitu juga dengan keluhan MSDs pada penelitian ini sangat bergantung subyektiîtas persepsi rasa sakit yang dialami pekerja. Didukung oleh Zakaria 2016 menyatakan jika diantara 9 dari 10 orang menganggap dirinya dalam kondisi kesehatan yang baik namun ternyata 1 dari 4 orang menderita penyakit kronis. Sejalan dengan hal tersebut, pada penelitian ini juga mengakibatkan peneliti dapat berasumsi ada kemungkinan responden yang mengalami keluhan MSDs namun menyatakan tidak ada keluhan. Dengan demikian data yang diperoleh peneliti dangat bergantug oleh pada persepsi keluhan yang dirasakan responden, sehingga dalam penulisannya peneliti menambahkan kata subyektif dalam keluhan MSDs yang dirasakan pengujian hubungan antara beban kerja îsik dengan keluhan subyektif musculoskeletal didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang cukup kuat dibuktikan dengan nilai koeîsien kontingensi sebesar 0,452. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Evadarianto 2016 diperoleh hasil terdapat hubungan yang sangat kuat antara beban kerja îsik dengan keluhan Musculoskeletal Disorders MSDs. Berat ringannya beban kerja seseorang tenaga kerja dapat menentukan berapa lama seseorang tenaga kerja melakukan aktivitas pekerjaannya sesuai dengan kemampuan atau kapasitas kerja yang bersangkutan. Jadi dengan kata lain semakin berat beban kerja, maka akan semakin pendek waktu kerja seseorang untuk bekerja tanpa kelelahan dan gangguan îsiologis yang berarti atau sebaliknya Evadarianto, 2016.Sejalan dengan penelitian ini, Rodahl dkk 1989 dikutip dari Tarwaka 2010 menyatakan bahwa tugas îsik yang berhubungan dengan tata ruang, sara kerja, kondisi beban kerja, cara angkat angkut dan lain-lain mempengaruhi kelelahan seseorang, akumulasi beban kerja îsik ini bisa mengakibatkan otot semakin berkontraksi dan mengakibatkan adanya keluhan kerja îsik memiliki hubungan yang signiîkan dengan keluhan musculoskeletal disorders yang dirassakan oleh pekerja. Dengan kata lain, semakin berat beban kerja akan meningkatkan keparahan keluhan musculoskeletal disorders yang dirasakan oleh dapat menyediakan tempat duduk untuk pekerja agar pekerja dapat istirahat sejenak untuk peregangan otot serta memberikan waktu untuk melakukan peregangan otot setiap 2 jam bekerja dengan lama waktu 5-10 menit bersamaan dengan memutar musik kerja untuk menghilangkan kejenuhan PUSTAKA Chairana, Fadilla Nela. 2015. Analisis Faktor Risiko Gangguan Musculoskeletal pada Pekerja Shiî Pagi Assembling 1 Di PT. X Sunter Assembly Plant Jakarta Utara. Jurnal Kesehatan Masyarakat . Universitas Diponegoro vol. 03 pp. 410-418Departemen Kesehatan RI. 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Nurdian. 2017. Postur Kerja dan Beban Kerja Fisik dengan Kejadian Keluhan Musculoskeletal Disorders MSDs pada Pekerja Bagian Rolling Mill di PT. Ispat Indo Sidoarjo. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas AirlanggaKroemer, K. H. E, E. Grandjean. 1997. Fitting îe Task To îe Human A Textbook of Occupational Ergonomics, Fiîh edition. London Taylor and Francis e-LibraryLaksana, Dian Puspitaningtyas. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders MSDs pada Kuli Angkut Kayu Tahun 2015 Studi di Perusahaan Kayu PT X, Lumajang. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas AirlanggaLestari, Kinanti. 2016. Hubungan Karakteristik Individu Dan Stasiun Kerja dengan Keluhan Subyektiif Musculoskeletal Studi pada Pekrja Di PT. PLN-APD Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas AirlanggaMangkunegara. A. A Prabu. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung PT Remaja Rosda KaryaNotoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. 67Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 4 1 2019 Jakarta Rineka CiptaNotoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta Rineka CiptaNurmianto, E. 2003. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya Guna WidyaNuryaningtyas, Binarîka Maghîroh, Tri Martiana. 2014. Analisis Tingkat Risiko Muskuloskeletal Disorders MSDs dengan îe Rapid Upper Limbs Assessment Rula Dan Karakteristik Individu Terhadap Keluhan MSDs. îe Indonesian Journal of Occupational Safety and Health. Universitas Airlangga Vol. 03 2 160-169OSHA. 2000. Ergonomics îe Study of Work. Department of Labour, Occupational Safety and Health AdministrationPeraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik dan Faktor Kimia di Tempat Nasional Indonesia 72692009Tarwaka. 2015. Ergonomi Industri; Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomic dan Aplikasi di Tempat Kerja. Surakarta Harapan Iif Fahrija. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders pada Pekerja Bongkar Muat PT. Pelindo III Tanjung Perak Surabaya. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga ... Another research conducted at the Shoe Factory in Nganjuk shows a p value of which indicates that the physical workload is related significantly to MSDs complaints, The higher the workload, the more serious the workers suffer from MSDs problems Putri, 2019. The findings of a study proposed by Aulia Tjahayuningtyas show a relation between the workload and MSDs issues Aulia, 2019. ...Nisrina Tiara SaniNoeroel WidajatiIntroduction The implementation of protection needs to be given attention and attempted to prevent workers from occupational diseases. One of the occupational diseases that often arises from the incompatibility of worker and their job is Musculoskeletal Disorders MSDs. This study analyzes the relation between workduration and physical workload with MSDs in informal workers. Methods An observational research followed by a cross sectional approach was applied as the method of the study. The 23 respondents in the spring production unit were chosen as the sample of the study. The objects of this research were the total population. Data on the characteristics of respondents and MSDs were gained through interviews conducted by filling out standardized physical workload was measured using a calorimeter measuring instrument, and MSDs data were analyzed using the NBM measuring tools. Furtermore, the statistical analysis used chi-square test. Results It shows that there is a relation between work duration and MSDs p = and there is a relation between physical workload and MSDs p = Conclusion The risk factors of works duration and physical workload are proven to have a relation with MSDs complaints on workers in informal informal workers, musculoskeletal disorders, physical workload, works durationSyamsiar S. RussengLalu Muhammad SalehWidya Nur Wahyulianti Sukri PalutturiBackground Workers in informal sector such as loading and unloading workers have a risk of experiencing health disorder of occupational disease such as musculoskeletloadingal disorders MSDs. Such complain usually occurs on spine back and neck and upper limb. Most of the loading and unloading workers work using manual material handling, such as loading, unloading, pushing, pulling, throwing, moving, or rotating loads using their hands or other body parts. Such work method has musculoskeletal disorders MSDs risk, including low back pain. There are several factors causing the musculoskeletal disorders MSDs including individual factors age and gender, work factors workload and work posture, and work environment factors. Objective The purpose of this study was to determine the direct and indirect effects of age and workload with work posture as an intervening variable against musculoskeletal disorders MSDs on loading and unloading workers at PT. Pelabuhan Indonesia IV Persero of Makassar Branch. Methods The current research applied analytical observation with a Cross-Sectional approach involving 140 respondents selected through a simple random sampling technique. This research was further carried out at Pelabuhan Indonesia IV Persero of Makassar Branch in April-May 2021. Data obtained were analyzed using univariate, bivariate, and multivariate analysis. Results There were 65 respondents who suffered from musculoskeletal disorder complaints in the high category followed by 53 respondents who suffered from musculoskeletal complaints in the very high category. It was also obtained that workload significantly affected the work position variable p = < age significantly affected the work posture variable p = < workload significantly affected the musculoskeletal disorders variable p = < and work posture significantly affected the musculoskeletal disorder variable p = < Conclusion A significant indirect effect between workload and musculoskeletal disorders complaints through work posture variables. Significant indirect effect was also found between age and musculoskeletal disorder complaints through work posture. In addition, the highest category of low back pain complaints is in moderate Fa'riatul AeniLilis BanowatiTuti NurâalindaIntroduction Musculoskeletal disorders complaints occur due to excessive muscle contraction, excessive workloads and monotonous movements such as when nurses perform various nursing task such as moving patients, carrying patients from bed to wheelchair, awkward posture during infusion placement. This study aims to determine the correlation between physical workload and musculoskeletal disorders complaints among nurses at Regional General Hospital RSUD of Indramayu District in 2019. Methods The design of this study uses quantitative with cross sectional. The method of data collection was crried by means of interview using the Nordic Body Map NBM questionnaire and observing the pulse calculation manually using a watch. Among the populations of 348 nurses, the samples of 75 nurses were selected based on the accidental sampling method. Statistical test used the chi-square test with a confidence level of 95% α= Results The study findings showed that most of 40 nurses who had heavy physical workload, 35 nurses had high musculoskeletal disorders complaints and 5 nurses had moderate musculoskeletal disorders complaints. On the other hand, of the 35 nurses who had moderate physical workload, 26 nurses experienced moderate musculoskeletal complaints and 9 nurses had high musculoskeletal disorders complaints. Chi-Square test results obtained p value = p < Thus, it can be concluded that there was a significant correlation between physical workload and musculoskeletal disorders complaints among nurses. Conclusion The heavier the physical workload, the higher the musculoskeletal disorders complaints among musculoskeletal disorders, nurses, physical workloadAnalisis Tingkat Risiko Muskuloskeletal Disorders MSDs dengan The Rapid Upper Limbs Assessment Rula Dan Karakteristik Individu Terhadap Keluhan MSDs. The Indonesian Journal of Occupational Safety and HealthBinarfika NuryaningtyasTri MaghfirohMartianaNuryaningtyas, Binarfika Maghfiroh, Tri Martiana. 2014. Analisis Tingkat Risiko Muskuloskeletal Disorders MSDs dengan The Rapid Upper Limbs Assessment Rula Dan Karakteristik Individu Terhadap Keluhan MSDs. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health. Universitas Airlangga Vol. 03 2 160-169Ergonomi Industri; Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomic dan Aplikasi di Tempat KerjaTarwakaTarwaka. 2015. Ergonomi Industri; Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomic dan Aplikasi di Tempat Kerja. Surakarta Harapan yang Berhubungan dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders pada Pekerja Bongkar Muat PT. Pelindo III Tanjung Perak SurabayaIif ZakariaFahrijaZakaria, Iif Fahrija. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders pada Pekerja Bongkar Muat PT. Pelindo III Tanjung Perak Surabaya. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas AirlanggaErgonomics The Study of WorkOshaOSHA. 2000. Ergonomics The Study of Work. Department of Labour, Occupational Safety and Health Administration
LowonganKerja Bagian Operator PT. Chingluh Indonesia Cikupa-Tangerang. PT Ching Luh Indonesia merupakan perusahaan PMA Taiwan yang bergerak di bidang pembuatan Sepatu dengan brand terkenal. Didirikan di Taiwan pada tahun 1969 silam. Perusahaan Ching Luh Grup telah jauh dari asal-usulnya yang sederhana dan selama empat puluh tahun terakhir
Alur Kerja Ruang Pemotongan di Pabrik Garmen Apakah Anda seorang pendatang baru atau Anda berencana untuk mendirikan pabrik pembuatan garmen whorkshop, Anda harus mengetahui alur kerja di ruang potong. Sering dikatakan bahwa ruang potong adalah jantung dari unit garmen. Jika Anda memotong kain secara akurat dengan pola yang benar, Anda dapat membuat pakaian kualitas terbaik dengan ukuran dan ukuran utama ruang cutting adalah memotong kain untuk garmen dan memasukkan potongan ke bagian sewing. Untuk mencapai hal ini, departemen cuting harus mengikuti alur kerja yang ditentukan, yang juga disebut Standar Operasional Prosedur SOPIlustrasi proses cutting Mari kita bahas alur kerja ruang kerja di bawah ini biasa di terapkan pada pabrik ukuran menengah yang ditujukan untuk produksi garmen massal,di bawah ini adalah penjelasan alur kerja secara singkat. Standar operasional prosedur atau alur kerja bagian cutting akan dijelaskan di bawah ini dengan Bagian cuttingDepartemen Pemotongan menerima detail pesanan produksi dengan instruksi pemotongan untuk pesanan tertentu kuantitas dan jadwal produksi sesuai styleDepartemen cutting menerima rencana pesanan potongan dari departemen PerencanaanPPIC jumlah pesanan, warna,ketentuan, jumlah potongan jumlah potongan yang bijaksana.Jika mereka tidak menerima pemutusan qty, manajer cutting melakukan rencana pesanan pemotongan secara manualDepartemen cutting menaikkan slip permintaan kain berdasarkan PO dan memberikannya ke gudang kain untuk mengeluarkan kain dan bahan lain yang diperlukan mis., Lapisan, .Departemen cutting juga mengirimkan permintaan ke departemen CAD untuk pola style dan pesanan.Jika pabrik menggunakan penanda tercetak sistem CAD, tidak perlu pola kertasMenerima kain dari toko sesuai permintaan dengan pita peneduh dan kombinasi warnaPola kertas di letakkan di atas meja potong, kemudian mengukur panjang marker untuk pelapisan konsumsi kain sebelum memulai pelapisan kain dengan panjang markerJika marker CAD digunakan, tidak perlu melakukan langkah iniDapatkan persetujuan konsumsi rata-rata produksi jika terdapat variasi antara konsumsi yang direncanakan dan konsumsi aktual.Verifikasi penyusutan kain dengan laporan pengujian kain dan pola akhir dengan penyusutan atau tidakMenyebar Kain di atas meja sesuai panjang marker. Jumlah ketinggian penyebaran kain sampai dengan jumlah tertentu dari lay.Jika kain perlu direlaksasi, letakkan di meja selama beberapa jam sebelum pembuatan markerPembuatan marker pada lapisan atas dengan menggunakan pola kertas dan penanda kapur untuk pola yang dicetak tidak perlu membuat marker. Hanya perlu meletakkan marker CAD pada layarnyaPemeriksaan kualitas penyebaran dilakukan oleh pemeriksa kualitas untuk memeriksa kain menghadap, tepi Mempersiapkan laporan layering Lay Report setelah menyelesaikan penyebaran lay mengikuti garis pembuat menggunakan mesin pemotong pisau lurus atau pemotong otomatisPemeriksaan kualitas pemotongan secara acak selama pemotongan dilakukan oleh Quality kontrol bagian cutting dan membuat laporan kualitas balok potong / panel garmen dari lay ke meja lainPemeriksaan acak panel garmen terhadap pola kertas untuk berbagai ukuran terutama panel lapisan atas, lapisan tengah, dan lapisan bawah diperiksa untuk pengukuranPenomoran lapis setiap lapis dan setiap komponen dilakukan dengan menggunakan mesin penomoran lapisPisahkan potongan berdasarkan warna dan ukuranPengumpulan komponen yang dipotong mengikuti ukuran bundel standarMelampirkan Tag bundel label ke setiap bundel dengan ukuran. warna, bundel bundel siap untuk dikirim ke bagian menjahit untuk pekerjaan menjahit. potongan dikantongi dalam polibag atau disimpan di Trollies atau di atas RakMencatat produksi pemotongan harian dan membundel catatan dan menyimpannya dalam buku catatanSekering panel potong - proses opsionaljika sekering diperlukan, komponen garmen dikirim ke bagian sekeringSelama proses produksi, jika departemen pemotongan menerima permintaan untuk penggantian suku cadang beberapa komponen garmen, departemen pemotongan memotong suku cadang dari ujung bit atau dari kain selesai memotong pesanan, rekonsiliasi kain sisa dan ujung bit selesai. Jika sisa kain tinggi, mereka mengembalikan kain ke gudang sudah alur kerja pemotongan pesananCatatan Alur kerja bagian cutting yang dibagikan di sini cditulis berdasarkan pengalaman kerja saya di sebuah pabrik garmen ekspor dan dari kunjungan ke banyak unit pabrik halaman depan untuk melihat artikel lebih lengkap
Cuttingprocess adalah proses pemotongan bahan baku sebelum dibentuk menjadi upper sepatu. Bahan baku yang berupa kain atau pun kulit (leather) dipotong membentuk pola-pola ( Cardsboard patterns ) yang telah ditentukan sebelumnya. Peralatan yang diperlukan dalam proses ini menggunakan mesin potong (cutting machine) dan alat potong yang disebut
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah SWT atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul " ASPEK DAN PERMASALAHAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA KEGIATAN PEMBUATAN SEPATU ". Dalam penyusunannya, saya memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kedua orang tua dan teman-teman yang telah memberikan do'a, dukungan dan saran. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Gambar7. Buffing bawah sepatu Point of cause : Cutting operation Direct cause: banyak debu di Cutting Board membersihkan Gambar Gambar 8. CM Plan Catting Operation Lem berlebih pada daerah upper yang di Gambar 9. Cutting Board sebelum dan sesudah perbaikan Benang panjang di bagian upper di akibatkan tidak ada tindakan perlakuan untuk memotong
B. Pabrik Kap Sepatu Pabrik mulai memproduksi kap sepatu pada juni 1991 dengan hanya 30 orang 0perator dan dapat menghasilkan 300 pasang tiap hari. Saat sekarang operatornya 2500 orang dapat menghasilkan pasang kap sepatu kualitas tinggi setiap hari. Bahan yang paling penting untuk memproduksi sepatu tentu saja adalah kulit, dan pada posisi yang sama, produksi kap sepatu dapat memberikan manfaat yang besar sekali pada perusahaan jika dibarengi dengan kendali mutu dan jadwal ketepatan waktu pengiriman yag ketat. Seluruh hasil produksi dari pabrik ini diekspor ke pabrikâpabrik ECCO Portugal, Denmark, Jepang, dan Thailand yang membuatnya menjadi sepatu jadi. Proses produksi Pembuatan sepatu di INDONESIA SIDOARJO terdapat beberapa proses produksi yang melalui beberapa tahapan, yaitu 1. Divisi Tannery Industri penyamakan kulit PT. ECCO INDONESIA SIDOARJO mengolah kulit mentah hides menjadi kulit jadi atau tersamak leather dengan menggunakan Crommosal B sebagai bahan penyamak tanning agents . PT. ECCO INDONESIA SIDOARJO mengunakan bahan mentahnya dari kulit impor dan lokal. Kulit impor hanya sebagian kecil, tetapi yang diutamakan dari kulit sapi jawa, karena dari beberapa hasil penelitian terbukti kulit sapi jawa mempunyai kualitas yang lebih baik dari yang lainnya. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada proses penyamakan kulit, yaitu a. Sifat-sifat yang amat sensitif dari kulit terhadap beberapa jenis bahan kimia serta mikroorganisme. pengumpulan kulit mentah dan cara pengawetan yang berbeda dan kondisi perlakuan ternak di daerah yang berbeda, maka kondisi kulit mentahnya akan berbeda juga, sehingga untuk memudahkan dan tidak menghalangi jalannya proses penyamakan serta agar lebih efektif dan efisien, maka kulit mentah diklasifikasikan menurut besarnya, asalnya kulit dan yang penting menurut kualitas kulit ditinjau dari segi kerusakannya. c. Jenis konsentrasi dan kemurnian dan jumlah bahan kimia yang digunakan serta PH saat penyamakan. yang terpolusi, terkontaminasi atau yang mengandung bahan organik tinggi harus dihindari, karena akan menyebabkan kesulitan saat proses dan atau mempercepat proses pembusukan kulit. e. Pengontrolan selama proses dilakukan secara teliti dan terus-menerus. Berikut ini adalah tahapan-tahapan dalam proses penyamakan kulit 1. Raw Hide Sebelum proses penyamakan dimulai, maka segala sesuatunya harus dipersiapkan dan diperhitungkan secermat mungkin, supaya kulit mentah tidak mengalami kerusakan. Kerusakan pada kulit mentah dapat disebabkan oleh perlakuan-perlakuan kimia yang kurang benar, fisika ataupun dari mikroorganisme selama berlangsungnya proses penyamakan. Di tempat ini, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan antara lain 1 Kulit garaman diseleksi sesuai kualitas dan spesifikasi yang diinginkan. 2 Mengurangi kandungan garam dalam kulit mentah. 3 Memisahkan kulit besar dan kulit kecil. 2. Beam House Proses produksi di beam house bertujuan untuk mengolah kulit mentah menjadi bahan baku kulit wet blue dan wet white . Proses utamanya meliputi 1. Proses Perendaman Soaking Proses Maksud dari proses perendaman ini adalah mempersiapkan kulit untuk dapat menerima perlakuan-perlakuan dalam proses selanjutnya. Sedangkan tujuan proses perendaman adalah a Pembasahan kembali untuk mengembalikan kadar air yang hilang selama berlangsungnya proses pengawetan, sehingga kadar airnya mendekati atau sama dengan kadar air kulit hewan segar yang baru dipotong, khususnya untuk kulit-kulit yang diawetkan dengan cara dikeringkan. b Membersihkan kulit dari darah, faeces, tanah dan kotoran lain yang melekat pada kulit. c Melarutkan lemak dan protein. Kulit yang mempunyai bulu tebal biasanya mengandung lemak, sehingga jika disamak sering menyulitkan proses penyamakan karena lemak menghalangi masuknya zat penyamak. Bahan kimia yang digunakan pada proses perendaman adalah sebagai berikut a Bahan kimia untuk antiseptik. b Bahan kimia yang dapat mempercepat masuknya air ke dalam kulit wetting agent. c Bahan kimia untuk menaikkan PH hingga sesuai untuk pemasukan obat- obatan. Alat dan mesin yang digunakan berupa drum dengan paddle, untuk lebih mempercepat penetrasi air ke dalam kulit, karena gerakan-gerakan mekanis yang ditimbulkan oleh putaran drum dan gesekan antar kulit. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses perendaman ini, yaitu PH harus mencapai 9,5 â 10 dan kepekatan garam dalam kulit kurang dari 3,5 . Kadar garam yang lebih dari 3,5 berarti pencucian ataupun perendaman kurang lama. Adanya garam atau kotoran ini menyebabkan urat kulit tidak membuka, sehingga obat sulit masuk ke dalam kulit. Proses perendaman dikatakan selesai jika kulit dianggap cukup lemas dan lunak atau menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut a. Jika dipegang kulit tidak akan terasa kaku atau keras. b. Berat kulit basah mencapai 220 â 250 dari berat kulit mentah kering, yang berarti kadar airnya mendekati kulit segar, yaitu 60 â 65 . c. Pada penampang kulit tidak transparan lagi. Limbah yang dihasilkan dari proses s oaking ini adalah air, sisa darah, bulu, garam, dan kotor-kotoran. 2. Proses Pengapuran Liming Proses Setelah cukup kelemasannya, kulit kemudian diangkat dari proses perendaman, dicuci dan selanjutnya mengalami proses pengapuran liming proses . Tujuan dari proses pengapuran adalah a. Merenggangkan kulit dan membuka kulit. b. Pelepasan bulu-bulu. c. Kulit lebih kenyal. Bahan kimia yang digunakan dalam proses pengapuran ini adalah sebagai berikut a. Bahan kimia untuk membengkakkan kulit dan membuka pori kulit, sehingga bulu dan kotoran lain dapat dengan mudah lepas, yang berupa kapur [ Ca OH 2 ]. b. Bahan kimia yang dapat merontokkan. c. Natrium Sulfida Na 2 S . Alat yang digunakan sama dengan proses soaking, yaitu drum dan paddle. Drum diputar selama 2,5 jam putaran 8 â 12 rpm, dengan ditambahkan kapur dan air sebanyak 100 kulit garaman. Kemudian diputar lagi sebanyak 45 menit dengan ditambah kapur dan air sebanyak 200 berat kulit garamn , lalu diputar lagi 30 menit dengan ditambahkan kapur dan air sebanyak 200 berat kulit garaman, dan lagi 30 menit dengan perlakuan yang sama. Kemudian kulit dikeluarkan untuk dilakukan proses selanjutnya, yaitu buang daging flessing proses . Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengapuran ini, yaitu jika kulit dikerok dan bahan pengerok kulit lepas, maka proses telah berjalan dengan baik. Pada kulit yang bengkak, jika terdapat warna kulit transparan dan tidak terdapat warna putih, maka proses telah berjalan dengan baik. Limbah yang dihasilkan berupa larutan pekat yang mengandung air kapur, Natrium Sulfida, Albumin, bulu, sisa daging, sisa lemak, dll. 3 Proses Buang Daging Flessing Proses Maksud dari proses buang daging ini adalah untuk mempermudah pelaksanaan proses pembelahan kulit Splitting Proses dan mempermudah proses-proses selanjutnya. a. Pembuangan koyoran, gajih yang mungkin akan menghalangi masuknya zat penyamak ke dalam bagian tengah kulit. b. Lebih membuka kulit Daging buangan dari proses ini oleh PT. ECCO INDONESIA SIDOARJO dijual ke penjual dengan jasa transportasi. Alat dan mesin yang digunakan berupa mesin buang daging fleshing machine. 4 Proses Pembelahan Spliting Proses Proses pembelahan kulit ini dilakukan denagn mesin pembelah kulit Splitting Machine . Tujuan dari proses ini, yaitu a. Membelah kulit sesuai tebal yang diinginkan, misal Java I 2,6 â 2, 8 mm. Java II 2,8 â 3, 0 mm. Java III 3,0 â 3, 2 mm. Java IV 3,4 â 3, 6 mm. b. Penghematan bahan kimia pada tahap penyamakan. Dari proses ini dihasilkan cecek yang dapat digunakan untuk kerupuk rambak. Cecek yang dihasilkan tersebut dijual, biasanya pembeli yang dating sendiri ke PT. ECCO Indonesia Sidoarjo. 5 Proses Penghilangan Kapur Deliming Process. Tujuan dari proses ini adalah untuk menurunkan pH kulit, agar kulit siap menerima perlakuan selanjutnya yang menghendaki pH rendah, menghindari bereaksinya kapur dengan bahan kimia pada proses berikutnya dan menghemat pemakaian bahan kimia. Bahan kimia yang digunakan dalam proses ini, yaitu a. Amonium sulfat[NH 4 2 SO 4 ], atau lebih dikenal dengan nama pupuk ZA. Reaksi antara kapur dengan ZA ini menghasilkan CaSO 4 yang sukar larut, sehingga harus dibantu putaran drum atau penambahan air, dan NH 4 OH yang menyebabkan pH larutan naik. Zat ini juga dimaksudkan sebagai bleaching pemutih. Pemakaian ZA ini 2 dari berat kulit setelah mengalami proses sebelumnya. b. Sodium bisulfit 0,5 dari berat kulit setelah mengalami proses sebelumya. Kulit dicuci dalam drumpaddle dengan air mengalir selama setengah jam untuk menghilangkan kapur yang terikat. Kemudian putar dengan 200 air putaran 8 â 12 rpm, diberikan ZA sedikit demi sedikit dan dijaga agar pH tidak turun 7,9 â 8,5. Kemudian diputar lagi selama 45 menit dengan ditambahkan Sodium bisulfit dan air sebanyak 200. Jika sisa kapur masih tertinggal akan terlihat warna merah pada penampang kulit bagian tengah saat ditetesi indikator PP. Penurunan pH yang terlalu cepat dan besar akan menyebabkan proses pembengkakan pada kulit dan menyebabkan kualitas kulit menurun karena mudah pecah dan sobek. 6 Proses Penghilangan Lemak Daging Batting Proses Tujuan dari proses ini adalah a. Untuk melonggarkan permukaan serat kulit, sehingga pegangannya lebih enak dan mudah dimasuki bahan kimia. b. Untuk menghilangkan sisa lemak yang masih ada. c. Untuk menghilangkan sisa-sisa bulu, pigmen kulit dan zat-zat kulit lainnya yang tidak diperlukan. d. Untuk menghilangkan sisa kapur yang masih tertinggal. Bahan kimia yang digunakan pada proses ini, yaitu batting dan degrasing agent. Alat yang digunakan pada proses ini berupa drumpaddle. Kulit diputar dengan air hangat sebanyak 100 putaran 8 â 12 rpm dengan diberi enzim pemakan protein. Kulit dikeluarkan dan dikerok kembali untuk meghilangkan atau mengeluarkan zat-zat yang tidak dapat dihilangkan dengan enzim. Tanda-tanda kulit sudah cukup di batting a. Kulit menjadi lunak bila ditekan dengan ibu jari dan bekasnya lama kembali thumb test. b. Timbulnya gelembung udara kecil-kecil pada permukaan kantung udara kulit air permeability test. c. Pemanpang melintang kulit berwarna putih bila ditetesi indikator PP. d. Kulit kemudian dicuci bersih. 7 Proses pengasaman Pickling process Setelah kulit telah selesai dilakukan proses pembuangan protein, maka untuk meghentikan proses bekerjanya enzim adalah dengan proses pengasaman. Proses pengasaman dilakukan untuk kulit-kulit yang akan disamak dengan bahan penyamak krom. Tujuan dari proses pengasaman ini adalah a. Menurunkan pH kulit dari pH = 8 menjadi pH ± 4, tanpa membuat kulit bengkak karena asam acid swelling. b. Menghentikan bekerjanya protein enzim. c. Mencegah tumbuh atau hidupnya bakteri pembusuk, sehingga kulit dapt disimpan lama dan tidak akan busuk asalkan pH dan kandungan garamnya tetap. d. Menghilangkan flek-flek kulit yang terjadi selama prose-proses sebelumnya. e. Menyesuaikan pH kulit terhadap pH penyamak krom, sehingga kulit tidak akan mengalami kontraksi. Bahan kimia yang digunakan pada proses ini semua bahan kimia yang bersifat asam, dengan mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis, yaitu Asam sulfat H 2 SO 4 sebanyak 0,7 dan Asam formiat HCOOH0,7 . Garam 5 berfungsi sebagai buffer atau penahan terjadinya pembengkakan karena penurunan pH secara mendadak misalnya garam dapur NaCl. Alat mesin yang digunakan dalam proses ini adalah drum dengan paddle. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pengasaman ini adalah konsentrasi garam. Konsentrasi garam yang terlalu pekat mengganggu pengikatan obat penyamak, sehingga kulit kurang rata. Sedangkan konsentrasi yang terlalu cair akan menyebabkan pembengkakan bulu, sehingga kulit terasa licin, lemas, dan mudah lentur. Proses ini dikatakan selesai jika kulit memberikan tanda-tanda a. pH cairan antara 3,6 â 3,7. b. Penampang kulit akan memberikan warna kuning jika ditetesi dengan BCG Brom Kresol Green. Ketiga proses deliming, batting, pickling diatas merupakan proses pendahulu sebelum tanning proses. Proses deliming, batting, pickling, dan tanning tersebut dilaksanakan dalam satu drum. 8 Proses Penyamakan tanning Penyamakan tanning bertujuan untuk merubah sifat kulit yang tidak stabil menjadi stabil terhadap perlakuan-perlakuan tertentu, misalnya adanya reaksi kimia tertentu atau perlakuan fisik seperti pukulan, gesekan, panas, tekanan, dan sebagainya. Secara terperinci tujuan proses penyamakan tanning process adalah sebagai berikut a. Menstabilkan kulit terhadap degradasi enzimatik dan menaikkan daya tahan resistant. b. Menaikkan temperatur penyusutan dan menaikkan daya tahan terhadap air panas. c. Menurunkan atau menghilangkan kemampuan untuk membengkakkan. d. Memperbaiki sifat pertahanan kulit. Dari proses tanning ini dihasilkan limbah berupa air, protein, sisa garam, sisa asam, dan mineral-mineral kromium. 9 Wet Blue Kulit yang dihasilkan dari proses penyamakan diatas disebut wet blue. Wet blue ini kemudian dianalisa kadar airnya, kadar debu, dan kandungan kromnya. Analisis tersebut dilakukan di laboratorium PT. ECCO Indonesia, Sidoarjo dengan waktu kurang lebih 2 hari. 10 Sammying Proses ini mengurangi kadar air dan flatness kerataan kulit setengah jadi wet blue, setelah itu diukur luasnya square feet dan dikategorikan menjadi kategori A,B,C dan D. 3. Wet End Area 1 Shaving Poses ini bertujuan untuk mengatur ketebalan kulit dengan cara di shave dengan Shaving machine. 2 Retanning Kulit diputar dalam drum dengan waktu tertentu sesuai dengan jenis kulit yang diproduksi. Pada proses ini adalah preoses penyamakan ulang. Pad proses ini juga mengalami proses Dyeing pewarna kulit. Saat pewarnaan, warna halus merata dan tembus bagian dalam. Bahan kimia pewarna yang digunakan berbentuk serbuk powder dan diberikan secara manual. Suhu yang digunakan dalam proses ini kurang lebih 30 -35 ï°c. 3 Setting out Dari proses retanning, kulit kemudian diperas untuk mengurangi kadar air dengan menggunakan mesin. 4. Crusting Area a. Vacuum Proses ini bertujuan untuk memberi efek rata, menurunkan kelembababn 30 â 40 dan memberi efek pada permukaan kulit. Proses dilakukan dengan mesin vacuum yang prinsip kerjanya adalah pengepresan sengan suhu 60 °C selama 300 detik. b. Hang Dry Sebelum proses ini kulit diukur terlebih dahulu kadar airnya menggunakan alat Aqua picolo. Setelah itu kulit dijemur Hang Dry, pproses ini bertujuan mengeringkan secar alami dengan menggantungkan kulit. Waktu penjemuran tergantung dari keadaan cuaca. Apabila cuaca baik, lama penjemuran kurang lebih satu hari. Kulit diukur kembali kadar airnya apabila hasilnya lebih dari 15, kulit akan dijemur kembali. c. Pole dry Proses ini bertujuan untuk mengeringkan dengan suhu tertentu 40 - 50°C, serta dilakukan pada kulit dengan ketebalan yang lebih besar. d. Conditioning Bagian bawah kulit disemprot dengan air untuk melentuirkan kulit. Prosesnya kurang lebih 3 detik , kemudian didiamkan selama 8 â 10 jam proses ini hanya untuk kulit yang melalui proses pole dry. e. Stacking Proses ini bertujuan untuk melemaskan kulit. f. Toggle Proses ini bertujuan untuk membesarkan kulit sesuai ukuran yang diinginkan dan menambah softness dengan cara kulit ditarik kemudian dijepit dan dimasukkan dalam ruangan dengan suhu 35 â40°C selama 1 jam 30 menit. g. Crust select Proses ini bertujuan untuk menyeleksi kulit berdasarkan warna yang menghasilkan tipe kulit dengan nubuck effect h. Trimming Proses ini bertujuan untuk merapikan tepi kulit yang tidak rata. i. Buffing Yaitu proses untuk menghaluskan bagian dalam kulit dengan menggunakan mesian yany dilengkapi dengan roll dan kertas amplas yang digerakkan oleh motor. Tujuan proses ini adalah agar bagian dalam kulit mudah untuk di lem pada proses Upper. j. Crust take over Proses pengecekan finishing quality control terhadap crust select sebelum dilanjutkan kr proses finishing 5. Finishing Kulit yang telah halus kemudian mengalami penyelesaian khir yaitu pengecatan tertutup. Pengecatan dilakukan dengan mesin spray. Setelah masuk ke proses pengecatan kulit juga masuk ke mesin Rotopress dan Hidropress tergantung artikelnya agar tampak mengkilap. Kulit yang telah melalui proses keseluruhan akan dianalisis secsrs visual. Tepi kulit yang tidak rata dirapikan dengan mengguanakan cutter trimming. Kulit jadi dikirim ke control room untuk diklasifikasikan berdasarkan kualitasnya kemudian siap digunakan sebagai bahan pembuatan. 2. Divisi Upper Divisi Upper terdiri dari tiga Hall, yaitu hall I, hall II dan hall III, yang pada prinsipnya ketiga hall tersebut terdapat kegiatan yang sama produksi Upper, hanya saja di hall dua terdapat produksi Desma produksi sepatu jadi. Tahapan â tahapan kegiatanya antara lain a. Produksi Upper 1. Cutting leather, yaitu memotong kulit menjadi bagian â bagian tertentu mengunakan alat Cutting Dies untuk kemudian diproses menjadi sepatu. 2. Spliting, yaitu untuk menyamakan ketebalan sesuai stndart tergantung artikelnya tidak semua artikel. 3. Marking, kulit yang telah diukur ketebalannya tadi kemiudian diberi cap atau tanda dalam hal ini logonya adalah ECCO. 4. Skiving, yaitu untuk membuat tepi kulit tidak terlalu tebal, sehingga nati pada saat dijahit akan menjadi lebih rapi hal ini dilakukan apabila jahitan kulitnya nanti disusun. 5. Embossing, yaitu pencetakan ukuran size sepatu pada bagian upper dalam. 6. Ironing, yaitu pelekatan kulit dengan komponen sepatu dengan cara pengepresan panas. 7. Stitching, yaitu kulit yang sudah diberi logo dan diberi Reinforcement kemudian dijahit sesuai dengan model yang saat itu sedang dikerjakan. 8. Folding Collar, yaitu melipat leher sepatu yang sudah dijahit sehingga sepatu menjadi lebih rapi. 9. Eyeleting, yaitu setelah menjahit semua bagian-bagian yang perlu dijahit, kemudian diberi Eyelet lubang untuk tali sepatu pada sepatu yang disesuaikan dengan model sepatu yang sedang dikerjakan. 10. Trimming, yaitu setelah selesai memberikan lubang utnuk ali sepatu kemudian sisa lidah sepatu yang tidak rapi digunting sehingga menjadi lebih rapi. 11. Burning, walaupun sudah digunting pada saat Trimming tadi, kulit atau reinforcement yang tidak rapi. Maka dilakukan pembakaran agar lebih rapi. 12. Hammering, hal ini dilakukan apabila sepatu tidak flat, tidak sesuai degan standart yang telah ditetapkan. Hal ini dapat diketahui dengan mengukur ketebalan dengan alat ukur ketebalan kulit. 13. Toe Moulding, yaitu membentuk sepatu bagian depan. 14. Back Part Moulding, yaitu membentuk sepatu bagian belakang tumit Stiffener. 15. Gluing, yaitu pengeleman dengan menggunakan spray latex untuk melekatkan benang sisa jahit dengan kulit agar terlihat rapi. b. Produksi Desma Dari Upper kemudian dilengkapi dengan sol sampai terbentuk sepatu, tahapan prosesnya antara lain 1. Toe moulding and back part moulding, membentuk bagian depan serta bagian belakng. 2. Jahit strober microfiber ke insol art, yaitu menjahit bagian dalam sepatu, menyambungkan dengan Upper. 3. Lasting Upper, yaitu bertujuan untuk membentuk sepatu. 4. Heating, proses pemanasan dengan dimasukkan dalam mesin oven biar kulit kencang sehingga pas dengan kaki orang 5. Roughing, sepatu dipress sehingga sepatu tidak terlihat lentur. 6. Injection, proses ini terdapat 24 station untuk 12 pasang tujuannya untuk membentuk sol sepatu. 7. Trimming, yaitu tujuannya untuk menghilangkan sisa â sisa sol dengan cutter, proses ini dilakukan dengan cara manual. 8. Colding, yaitu proses pendinginan dari sepatu setelah keluar dari injection, kemudian dikeluarkan dari cetakan. 9. Quality control, yaitu proses pengecekan kualitas. 10. Finishing, dalam proses ini terjadi proses pengecekan kualitas kembali dan juga pengecekan ukurannya dan dibersihkan bila masih ada lem yang masih menempel. 11. Packing, yaitu proses memasukkan ke kardus. Peneliti Terdahulu
PimpinanPerusahaan Bagian Produksi Bagian Pemasaran Tukang Muka Desaigner Secara umum sistem inilah yang digunakan oleh para pengusaha sepatu di Kecamatan Ciomas. 4.1.3 Kegiatan UKM Galaksi Produk yang dihasilkan oleh perusahaan adalah sepatu khusus wanita dengan jenis balet ukuran dewasa dengan berbagai model. (cutter) 4 Palu 2 Catoet
Sepatusafety merupakan sepatu yang sering kali di pakai sebagai alat pelindung kalidi perusahaan perusahaan yang bergerak di bidang industry atau perkebunan, karena sepatu safety sebagai pelindung diri yang terakhir ketika terjadinya miss atau gesekan ini sangat jadi perhatian khusus untuk pemakainya. Maka tidak heran banyak beberapa pemakai sepatu safety ini jika bekerja di perusahaan
bJ4P4bJ. rn2kwrx8w9.pages.dev/251rn2kwrx8w9.pages.dev/346rn2kwrx8w9.pages.dev/58rn2kwrx8w9.pages.dev/200rn2kwrx8w9.pages.dev/304rn2kwrx8w9.pages.dev/397rn2kwrx8w9.pages.dev/229rn2kwrx8w9.pages.dev/158rn2kwrx8w9.pages.dev/158
bagian cutting di pabrik sepatu